Kenaikan UKT: Pertimbangan Kualitas Pendidikan dan Kondisi Ekonomi
Jakarta – Polemik kenaikan Biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) di sejumlah perguruan tinggi mencuat baru-baru ini. UKT menjadi sumber pendapatan penting bagi kampus mengingat bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) belum memadai.
Rektor Universitas Padjajaran, Prof. Rina Indiastuti, menyatakan bahwa sebagian besar perguruan tinggi tidak menaikkan UKT. Kampus yang menaikkan UKT bertujuan meningkatkan kualitas layanan pendidikan. Sementara kampus yang tidak naik mempertimbangkan kondisi ekonomi mahasiswa.
“Besaran UKT bervariasi. Mayoritas mahasiswa membayar UKT1 dan UKT2 yang rendah, sedangkan hanya 5% yang membayar UKT tinggi,” jelas Rina.
Lain halnya dengan Universitas Airlangga (Unair). Rektor Unair, Prof. Mohammad Nasih, menegaskan bahwa kampusnya tidak menaikkan UKT, sesuai dengan Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024.
“Penetapan UKT Unair mempertimbangkan kondisi ekonomi mahasiswa. Kami memastikan inklusivitas dan akuntabilitas pengelolaan keuangan perguruan tinggi,” kata Nasih.
Perguruan tinggi juga menekankan transparansi pengelolaan keuangan. UKT ditetapkan berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa.
“Kami memahami keprihatinan mahasiswa terkait kenaikan UKT. Namun, peningkatan kualitas pendidikan dan kebutuhan operasional kampus juga harus menjadi pertimbangan,” ujar Nasih.
Presiden BEM Universitas Airlangga, Aulia Thaariq Akbar, berharap perguruan tinggi mempertimbangkan kenaikan UKT secara matang. “Mahasiswa perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait UKT. Aspek keadilan dan keberpihakan kepada mahasiswa harus diutamakan,” tegas Aulia.
Kenaikan UKT menjadi dilema bagi perguruan tinggi. Di satu sisi, mereka perlu meningkatkan kualitas pendidikan, sementara di sisi lain harus memperhatikan kondisi ekonomi mahasiswa. Transparansi, komunikasi yang baik, dan pertimbangan yang komprehensif sangat penting dalam menentukan kebijakan UKT yang adil dan berimbang.