Pembatasan Jam Kunjungan Bukit Turgo Demi Keselamatan akibat Aktivitas Gunung Merapi
SLEMAN, JOGJAKARTA – Objek wisata religi Bukit Turgo di lereng Gunung Merapi, Sleman, Yogyakarta, menerapkan pembatasan jam kunjungan sejak 25 Mei 2024. Kebijakan ini diambil menyusul peningkatan aktivitas kegempaan Gunung Merapi.
Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I Magelang Sleman Sutris Haryanta membenarkan pembatasan tersebut. “Tujuannya untuk mengimbau pengunjung tetap waspada dan menghindari aktivitas menginap di area itu,” ujar Sutris, Ahad (26/5/2024).
Bukit Turgo merupakan spot favorit wisatawan untuk menikmati pemandangan Gunung Merapi dari ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Di lokasi ini, pengunjung biasanya berkemah atau menikmati wahana wisata alam.
Selain keindahan alamnya, Bukit Turgo juga memiliki makam Kyai Turgo atau Syekh Jumadil Qubro yang kerap disambangi peziarah. Biasanya, mereka juga menginap di kawasan ini.
Pembatasan jam kunjungan berlaku mulai pukul 06.00 hingga 16.00 WIB. Setelah waktu tersebut, pengunjung diwajibkan kembali dan melapor ke pos untuk pemeriksaan.
Kepala BPPTKG Yogyakarta Agus Budi Santoso menjelaskan, peningkatan aktivitas Gunung Merapi ditandai dengan peningkatan frekuensi tremor, yang berpotensi memicu awan panas guguran.
“Kami merekomendasikan mitigasi berupa pembatasan kunjungan wisata di area rawan, salah satunya kawasan Bukit Turgo,” kata Agus.
Selain tremor, Gunung Merapi juga mengalami peningkatan guguran material vulkanik pada Sabtu (25/5/2024). Hujan abu vulkanik dilaporkan terjadi di beberapa lereng gunung, seperti Krinjing dan Ketep, Magelang, Jawa Tengah.
BPPTKG Yogyakarta memantau aktivitas Gunung Merapi pada 17-23 Mei 2024. Hasilnya, aktivitas vulkanik terbilang tinggi dengan erupsi efusif. Status aktivitas ditetapkan pada tingkat Siaga.
Potensi bahaya saat ini meliputi guguran lava dan awan panas pada sektor selatan-barat daya sejauh 5-7 kilometer. Lontaran material vulkanik juga berpotensi menjangkau radius 3 kilometer dari puncak gunung.
“Data pemantauan menunjukkan suplai magma masih berlangsung, yang dapat memicu terjadinya awan panas guguran di area potensi bahaya,” jelas Agus.