Penderitaan Tak Berujung: Sengkon dan Karta Terjerat Salah Tangkap

Jerat Ketidakadilan: Sengkon dan Karta Mendekam dalam Bayang-bayang Salah Tangkap

Polisi Salah Tangkap: Kisah Tragis Sengkon dan Karta

Jakarta – Isu polisi salah tangkap kembali mencuat setelah pengakuan Saka Tatal, terdakwa kasus pembunuhan Vina Cirebon. Tatal membantah terlibat dalam pembunuhan tersebut dan mengklaim sebagai korban salah tangkap polisi.

Fenomena ini diperparah oleh sejarah kelam polisi dalam salah tangkap, seperti kasus Sengkon dan Karta. Pada 1974, kedua petani asal Bekasi ini ditangkap atas tuduhan merampok dan membunuh pasangan suami istri. Meski menyangkal, mereka dipaksa mengakui kesalahan di bawah kekerasan.

Akibatnya, Sengkon divonis 12 tahun penjara, sedangkan Karta dijatuhi hukuman 7 tahun. Namun, Gunel, narapidana di LPK Cipinang, tiba-tiba mengakui melakukan kejahatan tersebut.

Pengakuan Gunel menjadi bukti baru yang mendorong Mahkamah Agung mengambil tindakan. Pada 4 November 1980, MA menyetujui “penghentian sementara” hukuman Sengkon dan Karta sambil menunggu upaya peninjauan kembali.

Meski dibebaskan, Sengkon menderita tuberkulosis yang dideritanya di penjara. Sementara itu, Karta kehilangan tanah miliknya karena digadai dan dijual istrinya. Setelah keluar dari penjara, ia hidup dalam kemiskinan dan anak-anaknya putus sekolah.

Kasus Sengkon dan Karta menjadi bukti nyata bahwa peradilan dapat berbuat kesalahan. Karta meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas pada 1982, sedangkan Sengkon menyusul pada 1988 karena tuberkulosis.

Sayangnya, kasus salah tangkap terus berulang meskipun telah berdekade berlalu. Pihak kepolisian dan pengadilan dinilai belum belajar dari tragedi Sengkon dan Karta.

Analisis

Kasus Sengkon dan Karta menyoroti kelemahan sistem peradilan pidana Indonesia. Dalam kasus ini, polisi menggunakan kekerasan untuk memaksa pengakuan, dan peradilan tidak memberikan keadilan bagi korban salah tangkap.

Akibatnya, Sengkon dan Karta kehilangan kebebasan dan kehidupan mereka. Kasusnya juga menunjukkan sulitnya mendapatkan keadilan bagi korban salah tangkap, terutama ketika bukti baru muncul setelah mereka dihukum.

Tragedi Sengkon dan Karta seharusnya menjadi pengingat bagi pihak berwenang untuk mereformasi sistem peradilan pidana. Hal ini mencakup peningkatan perlindungan terhadap hak-hak tersangka, memastikan ketepatan dalam proses penyelidikan dan persidangan, serta mempermudah proses peninjauan kembali bagi korban salah tangkap.

Dengan demikian, dapat dicegah kejadian serupa terulang kembali dan keadilan dapat ditegakkan bagi semua warga negara.

Leave a Reply