Ormas Keagamaan Bersiap Kelola Tambang Pasca-Revisi PP 96?

Gerbang Tambang Terbuka untuk Ormas Keagamaan Usai Revisi PP 96

Izin Tambang Kini Dapat Dikuasai Ormas, Pemerintah Sahkan PP Baru

Jakarta – Kebijakan kontroversial yang memungkinkan organisasi kemasyarakatan (ormas) untuk mengelola izin pertambangan telah diresmikan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024. PP ini merupakan revisi dari PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Pemerintah telah menambahkan Pasal 83A dalam PP baru ini, yang secara eksplisit memberikan prioritas penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada badan usaha milik organisasi kemasyarakatan keagamaan. Penawaran tersebut berlaku untuk wilayah yang sebelumnya merupakan bagian dari Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B).

Aturan baru ini mensyaratkan bahwa ormas keagamaan harus memiliki kepemilikan mayoritas dan menjadi pemegang saham pengendali dalam badan usaha yang mengelola izin tambang. Selain itu, badan usaha yang dimaksud dilarang menjalin kerja sama dengan pemegang PKP2B sebelumnya atau afiliasinya.

Penawaran WIUPK kepada ormas keagamaan akan berlangsung dalam jangka waktu lima tahun sejak PP berlaku. Ketentuan lebih lanjut mengenai proses penawaran ini akan diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres).

Reaksi Beragam

Kebijakan ini telah memicu reaksi beragam. Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, membela kebijakan tersebut, dengan alasan bahwa ormas keagamaan juga berperan penting dalam mengelola umat. Ia menegaskan bahwa pengelolaan izin tambang harus dilakukan secara profesional dan tidak boleh ada konflik kepentingan.

Namun, aktivis lingkungan mengecam kebijakan ini. Greenpeace Indonesia memperingatkan bahwa pemberian izin tambang kepada ormas berpotensi memperburuk kerusakan lingkungan. Organisasi lingkungan ini berpendapat bahwa ormas tidak memiliki keahlian dan kapasitas untuk mengelola sumber daya alam secara bertanggung jawab.

Ancaman Lingkungan

Arie Rompas, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, mengatakan bahwa kebijakan ini dapat membuat sumber daya alam Indonesia menjadi alat transaksi kekuasaan. Ia mengkhawatirkan bahwa profit akan diprioritaskan di atas keseimbangan lingkungan, yang akan memperparah krisis iklim.

Sampai berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, terkait PP terbaru ini.

Leave a Reply